Masalah dan Pengelolaan Daerah Aliran Sungai atau Problems and River Management
OLEH JALFIAN DJALIM ( 16
630 100 )
PROGRAM STUDI TEKNIK SIPIL
FAKULTAS TEKNIK
UNIVERSITAS
DAYANU IKHSANUDDIN
BAUBAU
2018
Masalah
dan Pengelolaan Daerah Aliran Sungai atau Problems and River Management
1.
Masalah DAS
Kerusakan kondisi hidrologis DAS sebagai dampak perluasan
lahan kawasan budidaya dan pemukiman yang tidak terkendali, tanpa memperhatikan
kaidah-kaidah konservasi tanah dan air seringkali menjadi penyebab peningkatan
erosi dan sedimentasi, penurunan produktivitas lahan, percepatan degradasi
lahan, dan banjir. Selain itu, terjadi penurunan jumlah curah hujan secara luas
di Jawa dan beberapa wilayah lain di Indonesia pada waktu setengah abad
sebelumnya yang berbanding lurus dengan penurunan luas hutan.
1)
Beberapa masalah DAS yang
tercatat antara lain:
Degradasi hutan akibat illegal logging dan perambahan hutan tidak terkendali untuk permukiman, pertanian, industry, dan sebagainya.
Degradasi hutan akibat illegal logging dan perambahan hutan tidak terkendali untuk permukiman, pertanian, industry, dan sebagainya.
2)
Luasnya lahan kritis akibat
intensitas penggunaan tanpa memperhatikan prinsip-prinsip konservasi tanah dan
air
3)
Erosi, longsor dan sedimentasi
yang mengancam pendangkalan sungai, situ dan waduk
4)
Pencemaran air akibat limbah
industry dan domestic
5)
Pendidikan dan kesejahteraan masyarakat
sekitar hulu DAS dan sekitar bantaran sungai pada umumnya masih rendah
6)
Masih tumpang tindihnya
peraturan perundangan antar sector
7)
Koordinasi dan sinergitas kebijakan, program
dan kegiatan antar lembaga yang belum berjalan baik
8)
Belum adanya master plan
pengelolaan DAS sebagai pedoman
9)
Belum adanya system informasi
terpadu dalam pengelolaan DAS
10) Kurangnya kesadaran dan partisipasi masyarakat dalam
pengelolaan DAS
11) Keterbatasan anggaran dalam pelaksanaan konservasi,
rehabilitasi lahan, pemeliharaan sarana dan prasarana pengairan
Pertambahan penduduk mengakibatkan peningkatan penyediaan
kebutuhan sandang, papan dan pangan, termasuk air. Jumlah masyarakat petani
semakin bertambah, di sisi lain lapangan kerja terbatas, sehingga pemilikan dan
luas lahan garapan semakin sempit, sehingga tekanan penduduk terhadap lahan
untuk pertanian semakin berat. Tekanan berat tercermin dari pemanfaatan lahan
yang melampaui batas kemampuannya. Akibat lebih lanjut adalah keseimbangan alam
juga terganggu.
a)
Masalah Pengelolaan DAS di Indonesia
1. Berorientasi Pada Fisik
Beberapa masalah DAS telah coba diantisipasi pemerintah. Namun solusi untuk pengelolaan DAS yang dilakukan pemerintah cenderung pada infrastruktur fisik. Pernyataan tersebut bisa dilihat dari bagaimana cara pemerintah sekarang mengelola Ciliwung. Menurut penjelasan Pitoyo Subandrio, Kepala Balai Besar Wilayah Sungai Ciliwung-Cisadane Departemen Pekerjaan Umum, langkah-langkah pemerintah terhadap Sungai Ciliwung terangkum dalam program Total Solution for Ciliwung. Langkah-langkah tersebut meliputi.
1). membuat sudetan di Kebun Baru dan di Kalibata yang akan dilakukan bersama antara Departemen Pekerjaan Umum (DPU) dengan Pemprov DKI Jakarta,
2). membangun rusunawa ditujukan khususnya bagi masyarakat yang selama ini tinggal di bantaran sungai,
3). mengadakan pemindahan paksa warga yang ada di bantaran sungai kerja sama dengan Pemprov DKI Jakarta dan Departemen Sosial. Pemindahan ini diutamakan bagi warga yang memiliki Kartu Tanda Penduduk (KTP), sementara yang tidak akan dipulangkan ke daerahnya dengan didampingi Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM),
4). melakukan normalisasi Sungai Ciliwung yang salah satunya dengan melakukan pengerukan,
5). penambahan daun pintu air di pintu air Manggarai dan pintu air Karet,
6). menaikkan jembatan Banjir Kanal Barat (BKB) bekerja sama dengan Pemprov DKI Jakarta,
7). revitalisasi Ciliwung lama terutama yang berada setelah pintu air Manggarai,
8). konservasi atau revitalisasi situ-situ, gerakan pembangunan sumur dan penghijauan,
9). membangun terowongan dari Ciliwung ke Banjir Kanal Timur melewati Cipinang.
1. Berorientasi Pada Fisik
Beberapa masalah DAS telah coba diantisipasi pemerintah. Namun solusi untuk pengelolaan DAS yang dilakukan pemerintah cenderung pada infrastruktur fisik. Pernyataan tersebut bisa dilihat dari bagaimana cara pemerintah sekarang mengelola Ciliwung. Menurut penjelasan Pitoyo Subandrio, Kepala Balai Besar Wilayah Sungai Ciliwung-Cisadane Departemen Pekerjaan Umum, langkah-langkah pemerintah terhadap Sungai Ciliwung terangkum dalam program Total Solution for Ciliwung. Langkah-langkah tersebut meliputi.
1). membuat sudetan di Kebun Baru dan di Kalibata yang akan dilakukan bersama antara Departemen Pekerjaan Umum (DPU) dengan Pemprov DKI Jakarta,
2). membangun rusunawa ditujukan khususnya bagi masyarakat yang selama ini tinggal di bantaran sungai,
3). mengadakan pemindahan paksa warga yang ada di bantaran sungai kerja sama dengan Pemprov DKI Jakarta dan Departemen Sosial. Pemindahan ini diutamakan bagi warga yang memiliki Kartu Tanda Penduduk (KTP), sementara yang tidak akan dipulangkan ke daerahnya dengan didampingi Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM),
4). melakukan normalisasi Sungai Ciliwung yang salah satunya dengan melakukan pengerukan,
5). penambahan daun pintu air di pintu air Manggarai dan pintu air Karet,
6). menaikkan jembatan Banjir Kanal Barat (BKB) bekerja sama dengan Pemprov DKI Jakarta,
7). revitalisasi Ciliwung lama terutama yang berada setelah pintu air Manggarai,
8). konservasi atau revitalisasi situ-situ, gerakan pembangunan sumur dan penghijauan,
9). membangun terowongan dari Ciliwung ke Banjir Kanal Timur melewati Cipinang.
Langkah-langkah yang lebih beroreintasi fisik ini
ditargetkan akan selesai tahun 2014. Program pemerintah provinsi DKI Jakarta
lebih berorientasi fisik misalnya pembangunan GSW (Giant Sea Wall) yang akan
dibangun sepanjang 32 km dan akan menelan biaya sekitar Rp 100 Triliun dengan
memakan waktu 10 tahun. Atau pembangunan TM (terowongan multifungsi) sepanjang
19 kilometer dan berdiameter 18 meter. Perkiraan biaya pembangunan TM berkisar
Rp 16 triliun. Penyelesaian megaproyek tersebut dijadwalkan sekitar empat
tahun.
Ada lagi
permasalahan, rencana pengelolaan sungai yang berorientasi pada pembangunan
fisik yang dilakukan pemerintah ternyata tidak diimbangi dengan revitalisasi
teknologi. Sebagian besar tekhnologi pengerukan sungai yang digunakan
pemerintah Indonesia berasal dari luar negeri. Sejak tahun 1950-an, Indonesia
mengadopsi teknologi dari Belanda untuk mengeruk beberapa sungai di Indonesia.
Tapi sampai tahun 2012 pun, pemerintah masih mengandalkan teknologi yang tidk
jauh berbeda dari Belanda. Hal ini bisa dilihat dari teknologi untuk proyek
JEDI (bantuan pemerintah Belanda), di mana mesin pengeruk yang dipakai berasal
dari Belanda seperti small floating bulldozer, hydraulic graf dan rotating drum
separator.
2.
Monopoli
Pengelolaan Sumber Daya Air
Permasalaan lain DAS adalah adanya monopoli pengelolaan sumber daya air. Menurut Marwan Batubara (2010), intervensi Bank Dunia dalam pengelolaan sungai mengarah pada dua hal, yaitu mendorong ketergantungan Indonesia akan sumber pendanaan dari lembaga keuangan internasional khususnya Bank Dunia baik dalam bentuk utang dan hibah, serta memuluskan program privatisasi. Ketergantungan pendanaan bisa dilihat dari berbagai rekomendasi yang diberikan Bank Dunia dari setiap proyek yang dijalankan. Alasan utama Bank Dunia mendorong privatisasi adalah memberikan peran yang lebih besar bagi swasta dengan mengurangi monopoli Negara khususnya pemerintah dalam pengelolaan sungai. Asumsi Bank Dunia dengan masuknya swasta, maka pengelolaan air dan sungai menjadi lebih efisien dan pengelolaan yang lebih baik. Kenyataannya, privatisasi menimbulkan monopoli dalam bentuk lain. Jika sebelumnya monopoli dilakukan Negara melalui kekuasaan pemerintah, sekarang monopoli dilakukan swasta. Seperti kasus reklamasi pantai utara Jakarta, bukan lagi Negara khususnya masyarakat yang diuntungkan tetapi korporasi lewat monopoli pembangunan proyek-proyek besar seperti pemukiman mewah dan pengembangan kawasan wisata yang mendapat untung. Pada lahan reklamasi di kawasan Ancol, muncul hunian mewah seperti Bukit Golf Mediterania milik Agung Podomoro Group yang berada di Pantai Indah Kapuk dan Mediterania Marina Residence. Hunian-hunian mewah dan pengembangan kawasan wisata tadi ditujukan bagi masyarakat menengah ke atas, bukan untuk orang miskin yang kesulitan mendapatkan tempat tinggal. Akibat sosialnya, selain masyarakat miskin tidak mendapatkan akses perumahan yang memadai, juga reklamasi telah menggusur nelayan dari pantai Utara Jakarta, dan masyarakat Jakarta pun tidak bisa bebas menikmati Pantai Utara Jakarta karena harus bayar. Sedangkan dampak lingkungannya adalah permukiman mewah tersebut menghalangi aliran air hujan ke laut. Sehingga ketika musim hujan, ancaman banjir tidak terelakkan dan Jakarta dapat menjadi kolam besar.
Permasalaan lain DAS adalah adanya monopoli pengelolaan sumber daya air. Menurut Marwan Batubara (2010), intervensi Bank Dunia dalam pengelolaan sungai mengarah pada dua hal, yaitu mendorong ketergantungan Indonesia akan sumber pendanaan dari lembaga keuangan internasional khususnya Bank Dunia baik dalam bentuk utang dan hibah, serta memuluskan program privatisasi. Ketergantungan pendanaan bisa dilihat dari berbagai rekomendasi yang diberikan Bank Dunia dari setiap proyek yang dijalankan. Alasan utama Bank Dunia mendorong privatisasi adalah memberikan peran yang lebih besar bagi swasta dengan mengurangi monopoli Negara khususnya pemerintah dalam pengelolaan sungai. Asumsi Bank Dunia dengan masuknya swasta, maka pengelolaan air dan sungai menjadi lebih efisien dan pengelolaan yang lebih baik. Kenyataannya, privatisasi menimbulkan monopoli dalam bentuk lain. Jika sebelumnya monopoli dilakukan Negara melalui kekuasaan pemerintah, sekarang monopoli dilakukan swasta. Seperti kasus reklamasi pantai utara Jakarta, bukan lagi Negara khususnya masyarakat yang diuntungkan tetapi korporasi lewat monopoli pembangunan proyek-proyek besar seperti pemukiman mewah dan pengembangan kawasan wisata yang mendapat untung. Pada lahan reklamasi di kawasan Ancol, muncul hunian mewah seperti Bukit Golf Mediterania milik Agung Podomoro Group yang berada di Pantai Indah Kapuk dan Mediterania Marina Residence. Hunian-hunian mewah dan pengembangan kawasan wisata tadi ditujukan bagi masyarakat menengah ke atas, bukan untuk orang miskin yang kesulitan mendapatkan tempat tinggal. Akibat sosialnya, selain masyarakat miskin tidak mendapatkan akses perumahan yang memadai, juga reklamasi telah menggusur nelayan dari pantai Utara Jakarta, dan masyarakat Jakarta pun tidak bisa bebas menikmati Pantai Utara Jakarta karena harus bayar. Sedangkan dampak lingkungannya adalah permukiman mewah tersebut menghalangi aliran air hujan ke laut. Sehingga ketika musim hujan, ancaman banjir tidak terelakkan dan Jakarta dapat menjadi kolam besar.
Kasus yang sama juga terjadi dalam pengelolaan air bersih
terutama di Jakarta. Privatisasi PDAM Jaya di tahun 1998 mendorong monopoli
pengelolaan air hanya pada dua perusahaan besar yaitu PT PAM Lyonnaise Jaya
(Palyja) dari Inggris dan Thames PAM Jaya (sekarang Aetra) dari Perancis.
Setelah lebih
dari 13 tahun layanan air bersih di Jakarta diprivatisasi, akses masyarakat
terhadap air bersih tidak membaik. Kedua operator tersebut saat ini hanya mampu
memenuhi sekitar 54 persen kebutuhan air bersih untuk warga DKI Jakarta,
sedangkan selebihnya 46 persen kebutuhan air bagi warga diperoleh dari sumber
air tanah. Kedua operator swasta gagal memenuhi harapan, untuk memberikan
perbaikan layanan kepada masyarakat. Target-target teknis yang telah disepakati
gagal dipenuhi oleh dua operator swasta. layanan yang tertuang di kontrak
kerjasama tidak berhasil dipenuhi, antara lain volume air yang terjual,
kebocoran air dan cakupan layanan. Tingkat kebocoran air mencapai 46% atau
kurang lebih senilai Rp 1.764 miliar. Cakupan layanan hanya 63% pada akhir
tahun 2008 , hal ini berarti ada 37% kelompok masyarakat Jakarta belum
mendapatkan fasilitas air bersih.
PAM Jaya
sendiri melalui Direkturnya menyatakan bahwa sejak diprivatisasi, PAM Jaya
mengalami kerugian hingga Rp. 583,67 milyar. Kerugian ini muncul akibat hutang
shortfall, yaitu hutang yang muncul akibat adanya selisih antara imbalan yang
diberikan kepada dua operator swasta dengan tarif . Apabila privatisasi air
Jakarta tetap dilanjutkan sampai kontrak konsesi berakhir maka kerugian PAM
Jaya diperkirakan sebesar Rp. 18 triliun pada tahun 2022.
3.
Tekanan
Pencemaran
Dalam peraturan Pemerintah No 82 tahun 2001 tentang pengelolaan kualitas air dan pengendalian pencemaran air, pasal 1 pencemaran air adalah: “masuknya atau dimasukkan makhluk hidup, zat energy dan atau komponen lain ke dalam air oleh kegiatan manusia, sehingga kualitas air tidak dapat berfungsi sesuai peruntukannya.”
Dalam peraturan Pemerintah No 82 tahun 2001 tentang pengelolaan kualitas air dan pengendalian pencemaran air, pasal 1 pencemaran air adalah: “masuknya atau dimasukkan makhluk hidup, zat energy dan atau komponen lain ke dalam air oleh kegiatan manusia, sehingga kualitas air tidak dapat berfungsi sesuai peruntukannya.”
Beban pencemar
(polutan) adalah bahan-bahan yang bersifat asing bagi alam atau bahan yang
berasal dari alam itu sendiri yang memasuki suatu tatanan ekosistem sehingga
menggangu peruntukan ekosistem tersebut (Effendi,2003). Sumber pencemaran yang
masuk ke badan perairan dibedakan atas pencemaran yang disebabkan oleh alam
polutan alamiah) dan pecemaran yang disebabkan oleh alam dan pencemaran
kegiatan mansia. Menurut sugiharto (1989) air limbah didefinisikan sebagai
kotoran dari masyarakat dan rumah tangga dan juga yang berasal dari industry,
air tanah, air permukaan serta buangan lainnya.
Lingkungan perairan dapat merespon masuknya bahan
pencemar sebagai bagian dari proses alami untuk kembali pada kualitas air
semula. Proses ini disebut self purification. Definisi dari self purification
adalah pemulihan oleh proses alami baik secara total ataupun sebagian kembali
ke kondisi awal sungai dari bahan asing yang secara kualitas maupun kuantitas
menyebabkan perubahan karakteristik fisik, kimia dan atau biologi yang terukur
dari sungai (Benoit, 1971). Proses pemulihan secara alami berlangsung secara
fisik, kimiawi dan biologi. Sungai yang alami dapat mendukung alami proses
pemurnian diri dan menyebabkan kualitas air yang lebih baik dari kondisi air
semula. Proses tersebut disebut homeostatis.
Menurut Davis
dan Cornwell (1991), sumber bahan pencemar yang masuk ke perairan dapat berasal
dari buangan yang diklasifikasikan:
1. Point source discharges (sumber titik), yaitu sumber titik atau sumber pencemar yang dapat diketahui secara akurat, dapat berupa suatu lokasi seperti air limbah industry maupun domestic serta saluran lokasi seperti air limbah maupun domestic serta saluran drainase.
2. Non point source (sebaran menyebar), berasal dari sumber yang tidak diketahui secara pasti. Pencemar masuk ke perairan melalui run off (limpasan) dari wilayah pertanian, pemukiman dan perkotaan.
1. Point source discharges (sumber titik), yaitu sumber titik atau sumber pencemar yang dapat diketahui secara akurat, dapat berupa suatu lokasi seperti air limbah industry maupun domestic serta saluran lokasi seperti air limbah maupun domestic serta saluran drainase.
2. Non point source (sebaran menyebar), berasal dari sumber yang tidak diketahui secara pasti. Pencemar masuk ke perairan melalui run off (limpasan) dari wilayah pertanian, pemukiman dan perkotaan.
Danpak
negative dari air limbah, antara lain:
1. Gangguan terhadap kesehatan
2. Gangguan terhadap Kehidupan Biotik
3. Gangguan terhadap Keindahan
4. Gangguan terhadap Kerusakan Benda
1. Gangguan terhadap kesehatan
2. Gangguan terhadap Kehidupan Biotik
3. Gangguan terhadap Keindahan
4. Gangguan terhadap Kerusakan Benda
4.
Kurang
Terpadu Dalam Pengelolaan DAS
Faktor lain yang merupakan kendala dalam pengelolaan DAS adalah kurangnya keterpaduan dan koordinasi dalam perencanaan, pelaksanaan dan pemantauan pengelolaan DAS termasuk dalam hal pembiayaannya. Kondisi ini terjadi karena banyaknya instansi yang terlibat dalam pengelolaan DAS seperti Departemen Kehutanan, Departemen Pekerjaan Umum, Departemen Pertanian, Departemen Dalam Negeri, Bakosurtanal dan Kementerian Lingkungan Hidup, pemerintah provinsi, pemerintah kabupaten/kota, perusahaan swasta, LSM dan masyarakat. Dengan banyaknya pihak yang terlibat dan panjangnya birokrasi yang perlu ditempuh, baik secara administrasi, perencanaan dan teknis dilapangan, maka diperlukan adanya koordinasi intensif berbagai pihak terkait baik lintas sektoral maupun lintas daerah.
Faktor lain yang merupakan kendala dalam pengelolaan DAS adalah kurangnya keterpaduan dan koordinasi dalam perencanaan, pelaksanaan dan pemantauan pengelolaan DAS termasuk dalam hal pembiayaannya. Kondisi ini terjadi karena banyaknya instansi yang terlibat dalam pengelolaan DAS seperti Departemen Kehutanan, Departemen Pekerjaan Umum, Departemen Pertanian, Departemen Dalam Negeri, Bakosurtanal dan Kementerian Lingkungan Hidup, pemerintah provinsi, pemerintah kabupaten/kota, perusahaan swasta, LSM dan masyarakat. Dengan banyaknya pihak yang terlibat dan panjangnya birokrasi yang perlu ditempuh, baik secara administrasi, perencanaan dan teknis dilapangan, maka diperlukan adanya koordinasi intensif berbagai pihak terkait baik lintas sektoral maupun lintas daerah.
Keterpaduan
mengandung pengertian terbinanya keserasian, keselarasan, keseimbangan dan
koordinasi yang berdaya guna dan berhasil guna. Keterpaduan pengelolaan DAS
memerlukan partisipasi yang setara dan kesepakatan para pihak dalam segala hal
mulai dari penyusunan kebijakan, perencanaan, pelaksanaan, pemantauan dan
penilaian hasil-hasilnya.
Contoh tidak
terpadunya pengelolaan DAS adalah banjir di Jakarta. Banjir di Jakarta
merupakan salah satu indikator kegagalan pemerintah dan para pemangku
kepentingan lainnya dalam mengelola sumber daya alam yang memiliki manfaat
publik. DAS yang melintasi daerah Jakarta bermuara di provinsi Banten dan Jawa
Barat, juga melibatkan pemerintah Kabupaten Bogor, Kota Bogor, Kota Depok,
Bekasi dan Tangerang. Tidak hanya itu, pengelolaan DAS juga melibatkan berbagai
kementerian seperti PU, Lingkungan Hidup, Kehutanan, dan Bappenas.
Lemahnya
koordinasi antar berbagai pemangku kepentingan (stakeholders) dalam menjalankan
program-program pengelolaan DAS terpadu merupakan focus masalah yang harus
dipecahkan bersama. Dalam hubungannya dengan otonomi daerah, penguatan
kapasitas dari para pemangku kepentingan untuk memecahkan masalah riil
mengurangi resiko banjir, merupakan agenda bersama para pemangku kepentingan
yang tidak bisa ditunda.
Komentar
Posting Komentar