Konsep Analisa Filsafat dan Etika
KONSEP DAN ANALISIS
FILSAFAT DAN ETIKA
Pengertian
Filsafat merupakan sebuah studi yang membahas segala fenomena yang ada
dalam kehidupan dan pemikiran manusia secara kritis dan skeptis dengan
mendalami sebab-sebab terdala, lalu dijabarkan secara teoritis dan mendasar.
Selain pengertian di atas dalam pengertiannya filsafat dibagi menjadi dua yaitu
secara etimologis dan terminologis. Secara etimologis, istilah filsafat berasal
dari bahasa Arab, yaitu falsafah atau juga dari bahasa Yunani yaitu philosophia
yang terdiri dari kata philien yang berarti cinta dan sophia yang berarti
kebijaksanaan. Jadi bisa kita artikan bahwa filsafat berarti cinta akan
kebijaksanaan atau love of wisdom dalam arti yang sedalam-dalamnya. Adapun
secara terminologis terdapat beberapa pengertian dari filsafat itu sendiri yang
akan dijabarkan sebagai berikut:
1. Upaya spekulatif
(rasional) untuk menyajikan suatu pandangan sistematik dan lengkap tentang
realitas secara keseluruhan
2. Upaya untuk melukiskan
realitas akhir dan dasar secara nyata
3. Upaya untuk menentukan
batas-batas dan jangkauan pengetahuannya seperti sumbernya, hakikatnya,
keabsahannya serta nilainya.
4. Penyelidikan kritis
atas pengandaian-pengandaian dan pernyataan-pernyataan yang diajukan oleh
berbagai bidang ilmu pengetahuan
5. Disiplin ilmu yang
berupaya untuk membantu kita melihat apa yang kita katakan dan untuk mengatakan
apa yang kita lihat.
Selain itu definisi
dari filsafat banyak dicetuskan oleh para ahli filsafat atau filsuf seperti
Cicero yang berpendapat bahwa filsafat adalah sebagai "ibu dari semua
seni" atau "the mother of all the art" ia juga mendefinisikan
filsafat sebagai ars vitae yang berarti seni kehidupan. Menurut Aristoteles,
filsafat adalah ilmu (pengetahuan) yang meliputi kebenaran yang di dalamnya
terkandung ilmu-ilmu metafisika, logika, retorika, etika, ekonomi, politik, dan
estetika. Menurut Plato, filsafat merupakan pengetahuan yang mencoba untuk
mencapai pengetahuan tentang kebenaran yang asli. Menurut Descrates, filsafat
merupakan semua pengetahuan di mana Tuhan, alam, manusia menjadi pokok
penyelidikan.Ibnu Sina yang merupakan filsuf islam mengemukakan bahwa filsafat
adalah pengetahuan otonom yang perlu ditimba oleh manusia, sebab manusia telah
di karuniai akal oleh Allah, Oleh karena itu, banyak dari penulis cenderung
mendefinisikan filsafat adalah merupakan ilmu pengetahuan yang menyangkut atau
mengenai segala sesuatu dengan cara memandang sebab-sebab atau asal-usul
terdalam. Beberpa pengertian filsafat menurut para ahli :
1) Menurut Harold H.
Titus
Filsafat adalah
sekumpulan sikap dan kepecayaan terhadap kehidupan dan alam yg biasanya
diterima secara tidak kritis. Filsafat adalah suatu proses kritik atau
pemikiran terhadap kepercayaan dan sikap yg dijunjung tinggi.
2) Menurut Hasbullah
Bakry
Ilmu Filsafat adalah
ilmu yg menyelidiki segala sesuatu dengan mendalam mengenai Ke-Tuhanan, alam
semesta dan manusia sehingga dapat menghasilkan pengetahuan tentang bagaimana
sikap manusia itu sebenarnya setelah mencapai pengetahuan itu.
3) Menurut Prof.
Dr.Mumahamd Yamin
Filsafat ialah
pemusatan pikiran, sehingga manusia menemui kepribadiannya seraya didalam
kepribadiannya itu dialamiya kesungguhan.
4) Menurut Prof. Dr.
Ismaun, M.Pd
Filsafat ialah usaha pemikiran dan
renungan manusia dengan akal dan qalbunya secara sungguh-sungguh , yakni secara
kritis sistematis, fundamentalis, universal, integral dan radikal untuk
mencapai dan menemukan kebenaran yg hakiki (pengetahuan, dan kearifan atau
kebenaran yang sejati.
5) Menurut Bertrand
Russel
Filsafat adalah sesuatu yg berada di
tengah-tengah antara teologi dan sains. Sebagaimana teologi, filsafat berisikan
pemikiran-pemikiran mengenai masalah-masalah yg pengetahuan definitif
tentangnya, sampai sebegitu jauh, tidak bisa dipastikan;namun, seperti sains,
filsafat lebih menarik perhatian akal manusia daripada otoritas tradisi maupun
otoritas wahyu.
6) Menurut Pudjo Sumedi
AS., Drs.,M.Ed. dan Mustakim, S.Pd.,MM
Istilah dari filsafat berasal bahasa
Yunani: ”philosophia”. Seiring perkembangan jaman akhirnya dikenal juga dalam
berbagai bahasa, seperti: ”philosophic” dalam kebudayaan bangsa Jerman,
Belanda, dan Perancis; “philosophy” dalam bahasa Inggris; “philosophia” dalam
bahasa Latin; dan “falsafah” dalam bahasa Arab.
Ø Kegunaan Filsafat
Pemanfaatan filsafat dalam kehidupan
dapat dibagi menjadi dua macam yaitu kegunaan secara umum dan kegunaan secara
khusus. Kegunaan secara umum yaitu manfaat yang dapat diambil oleh orang yang
mempelajari ilmu filsafat ini secara mendalam , manfaat tersebut dapat berupa
memudahkan dalam penyelesaian masalah-masalah secara kritis. Ciri dari
pemanfaatan filsafat secara umum ini yaitu ketidakterikatan oleh ruang dan
waktu. Kegunaan secara khusus yaitu dapat berupa pemecahan masalah secara
tertentu atau spesifik dalam dimensi ruang dan waktu yang terbatas.
B. Pengertian Etika
Etika berasal dari
bahasa Yunani ethos, yang berarti tempat tinggal yang biasa, padang rumpt,
kandang; kebiasaan, adat; watak; perasaan, sikap, cara berpikir. dalam bentuk
jamak ta etha artinya adat kebiasaan. Dalam arti terakhir inilah terbentuknya
istilah etika yang oleh Aristoteles dipakai untuk menunjukkan filsafat moral.
Etika berarti: ilmu tentang apa yang biasa dilakukan atau ilmu tentang adat
kebiasaan. Ada juga kata moral dari bahasa Latin yang artinya sama dengan
etika.
Secara istilah etika
memunyai tiga arti: pertama, nilai-nilai dan norma-norma moral yang menjadi
pegangan bagi seseorang atau suatu kelompok dalam mengatur tingkah lakunya.
Arti ini bisa disebut sistem nilai. Misalnya etika Protestan, etika Islam,
etika suku Indoan. Kedua, etika berarti kumpulan asas atau nilai moral (kode
etik). Misalnya kode etik kedokteran, kode etik peneliti, dll. Ketiga, etika
berati ilmu tentang yang baik atau buruk. Etika menjadi ilmu bila
kemungkinan-kemungkinan etis menjadi bahan refleksi bagi suau penelitian
sistematis dan metodis. Di sini sama artinya dengan filsafat moral.
Amoral berarti tidak
berkaitan dengan moral, netral etis. Immoral berarti tidak bermoral, tidak
etis. Etika berbeda dengan etiket. Yang terakhir ini berasal dari kata Inggris
etiquette, yang berarti sopan santun. Perbedaan keduanya cukup tajam, antara
lain: etiket menyangkut cara suatu perbuatan harus dilakukan, etika menunjukkan
norma tentang perbuatan itu. Etiket hanya berlaku dalam pergaulan, etika
berlaku baik baik saat sendiri maupun dalam kaitannya dengan lingkup sosial.
etiket bersifat relatif, tergantung pada kebudayaan, etika lebih absolut.
Etiket hanya berkaitan dengan segi lahiriyah, etika menyangkut segi batiniah.
Moralitas merupakan
suatu fenomena manusiawi yang universal, menjadi ciri yang membedakan manusia
dari binatang. Pada binatang tidak ada kesadaran tentang baik dan buruk, yang
boleh dan yang dilarang, tentang yang harus dan tidak pantas dilakukan.
Keharusan memunyai dua macam arti: keharusan alamiah (terjadi dengan sendirinya
sesuai hukum alam) dan keharusan moral (hukum yang mewajibkan manusia melakukan
atau tidak melakukan sesuatu).
Macam-macam etika
a. Etika deskriptif
Hanya melukiskan tingkah laku moral
dalam arti luas, misalnya adat kebiasaan suatu kelompok, tanpa memberikan
penilaian. Etika deskriptif memelajari moralitas yang terdapat pada kebudayaan
tertentu, dalam periode tertentu. Etika ini dijalankan oleh ilmu-ilmu sosial:
antropologi, sosiologi, psikologi, dll, jadi termasuk ilmu empiris, bukan
filsafat.
b. Etika normative
Etika yang tidak hanya melukiskan,
melainkan melakukan penilaian (preskriptif: memerintahkan). Untuk itu ia
mengadakan argumentasi, alasan-alasan mengapa sesuatu dianggap baik atau buruk.
Etika normatif dibagi menjadi dua, etika umum yang memermasalahkan tema-tema
umum, dan etika khusus yang menerapkan prinsip-prinsip etis ke dalam wilayah
manusia yang khusus, misalnya masalah kedokteran, penelitian. Etika khusus
disebut juga etika terapan.
c. Meta etika
Meta berati melampaui atau melebihi.
Yang dibahas bukanlah moralitas secara langsung, melainkan ucapan-ucapan kita
di bidang moralitas. Metaetika bergerak pada tataran bahasa, atau memelajari
logika khusus dari ucapan-ucapan etis. Metaetika dapat ditempatkan dalam
wilayah filsafat analitis, dengan pelopornya antara lain filsuf Inggris George
Moore (1873-1958). Filsafat analitis menganggap analisis bahasa sebagai bagian
terpenting, bahkan satu-satunya, tugas filsafat.
Salah satu masalah yang ramai
dibicarakan dalam metaetika adalah the is/ought question, yaitu apakah ucapan
normatif dapat diturunkan dari ucapan faktual. Kalau sesuatu merupakan
kenyataan (is), apakah dari situ dapat disimpulkan bahwa sesuatu harus atau
boleh dilakukan (ought).
Dalam dunia modern terdapat terutama tiga situasi etis yang menonjol.
Pertama, pluralisme moral, yang timbul berkat globalisasi dan teknologi
komunikasi. Bagaimana seseorang dari suatu kebudayaan harus berperilaku dalam
kebudayaan lain. ini menyangkut lingkup pribadi. Kedua, masalah etis baru yang
dulu tidak terduga, terutama yang dibangkitkan oleh adanya temuan-temuan dalam
teknologi, misalnya dalam biomedis. Ketiga, adanya kepedulian etis yang
universal, misalnya dengan dideklarasikannya HAM oleh PBB pada 10 Desember
1948.
Moral dan Hukum
Hukum dijiwai oleh moralitas. Dalam kekaisaran Roma terdapat pepatah quid
leges sine moribus (apa arti undang-undang tanpa moralitas?). Moral juga
membutuhkan hukum agar tidak mengawang-awang saja dan agar berakar kuat dalam
kehidupan masyarakat.
Sedikitnya ada empat perbedaan antara moral dan hukum. Pertama, hukum lebih
dikodifikasi daripada moralitas, artinya dituliskan dan secara sistematis
disusun dalam undang-undang. Karena itu hukum memunyai kepastian lebih besar
dan lebih objektif. Sebaliknya, moral lebih subjektif dan perlu banyak diskusi
untuk menentukan etis tidaknya suatu perbuatan. Kedua, hukum membatasi diri
pada tingkah laku lahiriah, sedangkan moral menyangkut juga aspek batiniah.
Ketiga, sanksi dalam hukum dapat dipaksakan, misalnya orang yang mencuri
dipenjara. Sedangkan moral sanksinya lebih bersifat ke dalam, misalnya hati
nurani yang tidak tenang, biarpun perbuatan itu tidak diketahui oleh orang
lain. Kalau perbuatan tidak baik itu diketahui umum, sanksinya akan lebih
berat, misalnya rasa malu. Keempat, hukum dapat diputuskan atas kehendak
masyarakat dan akhirnya atas kehendak negara. Tetapi moralitas tidak dapat
diputuskan baik-buruknya oleh masyarakat. Moral menilai hukum dan bukan
sebaliknya.
[Disarikan dari K. Bertens, Etika, Jakarta: Gramedia, 2000, h. 3-45]
2 Teori Etika: Utilitarisme dan Deontologi
Salah satu cabang filsafat yaitu filsafat moral. Tampaknya filsafat moral
tidak begitu lazim terdengar di telinga dikarenakan dalam kehidupan sehari-hari
jarang sekali yang menyebut filsafat moral tetapi etika. Benar,
nama lain dari filsafat moral adalah etika. Jadi tidak usah
dibingungkan dengan apa perbedaan filsafat moral dengan etika karena
perbedaannya hanya terletak pada tulisannya saja. Pada tulisan sebelumnya sudah
dibedakan antara etika dengan etiket, jadi silakan terlebih dahulu
membaca Definisi
Etika: Pengenalan Terhadap Filsafat Moral.
Ada 2 teori besar etika yang harus diketahui dan dipelajari terlebih dahulu
sebelum masuk ke dalam kasus nyata yang erat dengan persoalan etika.
Pembelajaran teori etika terlebih dahulu berguna untuk memperoleh kemudahan
dalam mengupas persoalan etika. Jadi akan tahu betul teori etika apa yang
sebaiknya digunakan untuk meninjau suatu kasus.
Utilitarisme
Teori ini menjadi terkenal sejak disistematisasikan oleh filsuf Inggris
bernama John Stuart Mill dalam bukunya yang berjudul On Liberty.
Sesuai dengan namanya utilitarisme berasal dari kata utility dengan
bahasa latinnya utilis yang artinya “bermanfaat”. Teori ini
menekankan pada perbuatan yang menghasilkan manfaat, tentu bukan sembarang
manfaat tetapi manfaat yang paling banyak membawa kebahagiaan bagi
banyak orang.
Dikaitkan dengan demokrasi tampaknya teori ini erat kaitannya. Dalam
pemilihan suara pada Pemilihan Umum (PEMILU) suatu negara yang menganut asas
demokrasi, calon presiden dengan suara terbanyak adalah presiden yang
memenangkan pemilu. Meski pun perbandingannya hanya 49% dengan 51% tetap saja
calon yang memperoleh suara terbanyak akan menang. Demikian pula dengan
implementasi utilitarisme
Meski pun sudah dialami manfaat dari utilitarisme bukan berarti
utilitarisme secara teoritis tidak memiliki masalah. Jika semua yang
dikategorikan sebagai baik hanya diperoleh dari manfaat terbanyak bagi orang
terbanyak, maka apakah akan ada orang yang dikorbankan? Anggap saja ada anjing
gila, anjing tersebut suka menggigit orang yang lewat. 7 dari 10 orang
menyarankan anjing tersebut dibunuh sedangkan 3 lainnya menyarankan dibunuh.
Penganut utilitarisme akan menjawab tentu yang baik jika anjing itu dibunuh.
Lalu saran 3 orang tadi dikemanakan? Apakah mereka harus menerima itu begitu
saja? Kalau menurut teori ini YA.
Kasus di atas hanyalah sebatas anjing bagaimana jika manusia? Bukan tidak
mungkin hal ini terjadi bahkan sudah terjadi, tentu dalam perkembangan
peradaban ada sejarah diskriminasi ras mau pun etnis. Kasus diskriminasi ras
kulit hitam dan diskriminasi etnis Tionghoa sebelum tahun 1997 tampaknya tidak
terdengar asing lagi di telinga. Salah satu sebab mereka didiskriminasikan
karena mereka minoritas, dan mayoritas berhak atas mereka. Oleh utilitarisme
hal ini dibenarkan selama diskriminasi membawa manfaat.
Dibalik kengerian dari aplikasi teori utilitarisme ini, ada pula hal yang
melegakan. Salah satunya adalah ketika berkenaan dengan bisnis dan keuangan.
Perhitungan ala utilitaris ini dapat berlaku sebagai tinjauan atas keputusan
yang akan diambil. Mengingat dalam keuangan yang ada kebanyakan adalah
angka-angka, jadi keputusan dapat diambil secara mudah berdasarkan jumlah
terbanyak bagi manfaat terbanyak.
Teori ini juga dikatakan sebagai konsekuensionalisme karena segala
keputusan diambil atas tinjauan konsekuensi. Konsekuensi paling menguntungkan
adalah konsekuensi yang akan diambil.
Komentar
Posting Komentar